Analisi cerpen dan lagu Malaikat Juga Tahu - Dewi Lestari
Malaikat Juga Tahu
oleh: Dewi “Dee”
Lestari
Laki-laki dan
perempuan itu terbaring di atas rumput, menatap bintang yang bersembulan dari
carikan awan kelabu. Saat yang paling tepat untuk bermalam minggu di
pekarangan.
Perempuan itu hafal rutinitas ketat
yang berlaku di sana. Laki-laki di sebelahnya memangkas rumput setiap Selasa,
Kamis, dan Sabtu. Mencuci baju putih setiap Senin, baju berwarna gelap setiap
Rabu, baju berwarna sedang setiap Jumat. Menjerang air panas setiap hari pukul
enam pagi untuk semua penghuni rumah. Menghitung koleksi sabun mandinya yang
bermerek sama dan berjumlah genap seratus, setiap pagi dan sore.
Banyak orang yang bertanya-tanya
tentang persahabatan mereka berdua. Orang-orang penasaran tentang topik obrolan
mereka dan apa kegiatan perempuan itu selama berjam-jam di sana. Sudah jadi
pengetahuan umum bahwa ibu dari laki-laki itu, yang mereka sebut Bunda, sangat
pandai memasak. Rumah Bunda yang besar dan memiliki banyak kamar adalah rumah
indekos paling legendaris. Bahkan, ada ikatan alumni tak resmi dengan anggota
ratusan, dipersatukan oleh kegilaan mereka pada masakan Bunda. Setiap Lebaran,
Bunda memasak layaknya katering pernikahan. Terlalu banyak mulut yang harus
diberi makan. Namun, jika cuma akses tak terbatas atas masakan Bunda yang jadi
alasan persahabatan mereka berdua, orang-orang tidak percaya.
Laki-laki itu,
yang biasa mereka panggil Abang, adalah makhluk paling dihindari di rumah
Bunda, nomor dua sesudah blasteran Doberman yang galaknya di luar akal, tapi
untungnya sekarang sudah ompong dan buta. Abang tidak galak, tidak menggigit,
tapi orang-orang sering dibuat habis akal jika berdekatan dengannya. Setiap
pagi dia membangunkan seisi rumah itu dengan ketukannya di pintu dan secerek
air panas untuk mandi. Dia menjemput baju-baju kotor dan bisa ngadat kalau
disetorkan warna yang tidak sesuai dengan jadwal mencucinya. Sekalipun sanggup,
Bunda tidak bisa memasang pemanas air bertenaga listrik atau sel surya. Anaknya
harus menjerang air. Secerek air panas dan mencuci baju sewarna adalah masalah
eksistensial bagi Abang.
Mengubah rutinitas itu sama saja
dengan menawar bumi agar berhenti mengedari matahari.
Bukannya tidak mungkin
berkomunikasi wajar dengan Abang, hanya saja perlu kesabaran tinggi yang
berbanding terbalik dengan ekspektasi. Dalam tubuh pria 38 tahun itu bersemayam
mental anak 4 tahun, demikian menurut para ahli jiwa yang didatangi Bunda.
Sekalipun Abang pandai menghafal dan bermain angka, ia tak bisa mengobrolkan
makna. Abang gemar mempreteli teve, radio, bahkan mobil, lalu merakitnya lagi
lebih baik daripada semula. Dia hafal tahun, hari, jam, bahkan menit dari
banyak peristiwa. Dia menangkap nada dan memainkannya persis sama di atas
piano, bahkan lebih sempurna. Namun, dia tidak memahami mengapa orang-orang
harus pergi bekerja dan mengapa mereka bercita-cita.
Perempuan
di pekarangan itu tahu sesuatu yang orang lain tidak. Abang adalah pendengar
yang luar biasa. Perempuan itu bisa bebas bercerita masalah percintaannya yang
berjubel dan selalu gagal. Tidak seperti kebanyakan orang, Abang tidak berusaha
memberikan solusi. Abang menimpali keluh kesahnya dengan menyebutkan daftar
album Genesis dan tahun berapa saja terganti pergantian anggota. Gerutuannya
pada kumpulan laki-laki berengsek yang telah menghancurkan hatinya dibalas
dengan gumaman simfoni Beethoven dan tangan yang bergerak-gerak memegang
ranting kayu bak seorang konduktor. Abang tidak bisa beradu mata lebih dari
lima detik, tapi sedetik pun Abang tidak pernah pergi dari sisinya. Ia pun
menyadari sesuatu yang orang lain tidak. Laki-laki di sampingnya itu bisa jadi
sahabat yang luar biasa.
Barangkali segalanya tetap sama
jika Bunda tidak menemukan surat-surat yang ditulis Abang. Untuk kali
pertamanya, anak itu menuliskan sesuatu di luar grup musik art rock atau
sejarah musik klasik. Ia menuliskan surat cinta—kumpulan kalimat tak tertata
yang bercampur dengan menu makanan Dobi, blasteran Doberman yang tinggal tunggu
ajal. Tapi ibunya tahu itu adalah surat cinta.
Barangkali
segalanya tetap sama jika adik Abang, anak
bungsu Bunda, tidak kembali dari merantau panjang di luar negeri. Sang
adik, kata orang-orang, adalah hadiah dari Tuhan untuk ketabahan Bunda yang
cepat menjanda, disusul musibah yang menimpa anak pertamanya, seorang gadis
yang bahkan tak sempat lulus SD, yang meninggal karena penyakit langka dan tak
ada obatnya, lalu anak keduanya, Abang, mengidap autis pada saat dunia
kedokteran masih awam soal autisme sehingga tak pernah tertangani dengan baik.
Anak bungsunya, yang juga laki-laki, menurut orang-orang adalah figur sempurna.
Ia pintar, normal, dan fisiknya menarik. Ia hanya tak pernah di rumah karena
sedari remaja meninggalkan Indonesia demi bersekolah.
Barangkali sang adik tetap menjadi
figur yang sempurna jika saja ia tidak memacari perempuan satu-satunya yang
dikirimi surat cinta oleh kakaknya. Bunda tahu, secerek air panas dan cucian
berwarna seragam sudah resmi bergandengan dengan rutinitas lain: perempuan itu.
Dan bagi Abang, rutinitas tidak sekadar hobi, tetapi eksistensi.
Kali pertama Bunda mengetahui si
bungsu dan perempuan itu berpacaran, Bunda langsung mengadakan pertemuan empat
mata. Ia memilih perempuan itu untuk diajak bicara pertama karena dipikirnya
akan lebih mudah.
“Bagi kamu, ini pasti terdengar
aneh. Mereka dua-duanya anak Bunda. Tapi kalau ditanya, siapa yang bisa
mencintai kamu paling tulus, Bunda akan menjagokan Abang.”
Perempuan itu terenyak. Apa-apaan
ini? pikirnya gusar. Jangan pernah bermimpi dia akan memilih manusia satu itu
untuk dijadikan pacar. Jelas tidak mungkin.
Bunda melanjutkan dengan suara
tertahan, “Dia mencintai tidak cuma dengan hati. Tapi seluruh jiwanya. Bukan
basa-basi surat cinta, tidak cuma rayuan gombal, tapi fakta. Adiknya bisa cinta
sama kamu, tapi kalau kalian putus, dia dengan gampang cari lagi. Tapi Abang
tidak mungkin cari yang lain. Dia cinta sama kamu tanpa pilihan. Seumur
hidupnya.”
“Tapi… Bunda bukan malaikat yang
bisa baca pikiran orang. Bunda tidak bisa bilang siapa yang lebih sayang sama
saya. Tidak akan ada yang pernah tahu.
Saat itu mata Bunda berkaca-kaca.
Begitu juga dengan matanya. Tak lama mereka menangis berdua. Namun, ia tahu
perbedaan dirinya dengan Bunda. Bagi perempuan itu, cinta tanpa pilihan adalah
penjara. Ia ingin dirinya dipilih dari sekian banyak pilihan. Bukan karena ia
satu-satunya pilihan yang ada.
Masih sambil berbaring, dengan
punggung tangannya, perempuan itu mengusap-usap rumput. Lengannya bergerak
lambat dan gemulai seolah menarikan tari perpisahan. Ini akan menjadi malam
Minggu terakhirnya di pekarangan serapi lapangan golf. Semalam mereka bicara
bertiga. Dia, Bunda, dan si bungsu.
“Dia tidak bodoh.”
“Bunda, saya tahu dia tidak bodoh.”
“Dia akan segera tahu kalian
berpacaran.”
“Mami, lebih baik dia tahu sekarang
daripada nanti setelah kami menikah.”
Bunda melengakkan kepala dengan
tatapan tak percaya. “Bagi abangmu, apa bedanya sekarang dan nanti?”
“Kami tidak mungkin
sembunyi-sembunyi seumur hidup!” Anak laki-lakinya setengah berseru.
“Kalau perlu, kalian harus
sembunyi-sembunyi seumur hidup!” balas Bunda lebih tegas.
“Ini tidak adil. Ini tidak masuk
akal…,” protes anaknya lagi.
“Jangan bicara soal adil dan masuk
akal. Aturan kamu, aturan kita, tidak berlaku bagi dia…,” desis Bunda, “kamu
tidak tinggal di rumah ini. Kamu tidak mengenalnya seperti Mami.”
Suatu hari,
pernah ada anak indekos yang jail. Dia menyembunyikan satu dari seratus sabun
koleksi Abang. Bunda sedang pergi ke pasar waktu itu. Abang mengacak-acak satu
rumah, lalu pergi minggat demi mencari sebatang sabunnya yang hilang. Tiga
mobil polisi menelusuri kota mencari jejaknya
Baru sore hari ia ditemukan di
sebuah warung. Ada sabun yang persis sama dipajang di etalase dan Abang
langsung menyerbu masuk untuk mengambil. Penjaga warung menelepon polisi karena
tidak berani mengusir sendiri.
Kejadian itu mengharuskan Abang
diterapi selama beberapa bulan ke rumah sakit dan diberi obat-obat penenang.
Bunda tahu betapa anaknya membenci rumah sakit dan obat-obatan itu hanya
membuat otaknya rapuh. Tak ada yang memahami bahwa seratus sabun adalah syarat
bagi anaknya untuk beroleh hidup yang wajar.
“Kamu harus tetap kemari setiap
malam minggu. Tidak bisa tidak,” kata Bunda kepada perempuan itu. “Dan selama
di rumah ini, kalian tidak boleh kelihatan seperti kekasih. Buat kalian mungkin
tidak masuk akal. Tapi hanya dengan begitu abangmu bisa bertahan.”
Selepas berbicara dengan Bunda,
mereka berbicara berdua. Mereka sepakat untuk selama-lamanya pergi dari
kehidupan rumah itu. Tidak mungkin mereka terpenjara setiap minggu di sana.
Mereka menolak menjadi bagian dari ritual menjerang air, cuci baju, dan seratus
sabun.
Di pekarangan dengan tinggi rumput
seragam, perempuan itu mengucapkan selamat tinggal di dalam hati. Persahabatan
yang luar biasa ternyata mensyaratkan pengorbanan di luar batas kesanggupannya.
Perempuan itu mengucap maaf berkali-kali dalam hati.
Sejenak lagi, malam Minggu terakhir
mereka usai.
***
Bunda menangisi
setiap malam Minggu. Tidak pakai air mata karena ia tidak punya cukup waktu. Ia
menangis cukup dalam hati.
Semua anak indekos kini menyingkir
jika malam Minggu tiba. Mereka tidak tahan mendengar suara lolongan,
barang-barang yang diberantaki, dan seseorang yang hilir mudik gelisah mengucap
satu nama seperti mantra. Menanyakan keberadaannya. Kalau beruntung, Abang
akhirnya kelelahan sendiri lalu tertidur di pangkuan ibunya. Kalau tidak, sang
ibu terpaksa menutup hari anaknya dengan obat penenang.
Pada setiap
penghujung malam Minggu, Bunda bersandar kelelahan dengan bulir-bulir besar
peluh membasahi wajah, anaknya yang berbadan dua kali lebih besar tertidur
memeluk kakinya erat-erat. Selain dengkuran dan napas anaknya yang memburu,
tidak ada suara lain di rumah besar itu. Semua pergi. Dobi telah mati. Bunda
tak bisa dan tak merasa perlu mengutuk siapa-siapa. Mereka yang tidak paham dahsyatnya
api akan mengobarkannya dengan sembrono. Mereka yang tidak paham energi cinta
akan meledakkannya dengan sia-sia. Perempuan muda itu benar. Dirinya bukan
malaikat yang tahu siapa lebih mencintai siapa dan untuk berapa lama. Tidak
penting. Ia sudah tahu. Cintanya adalah paket air mata, keringat, dan dedikasi
untuk merangkai jutaan hal kecil agar dunia ini menjadi tempat yang indah dan
masuk akal bagi seseorang. Bukan baginya. Cintanya tak punya cukup waktu untuk
dirinya sendiri.
Tidak perlu ada kompetisi di sini.
Ia, dan juga malaikat, tahu siapa juaranya.
begitulah cerpen dari Dewi Lestari. Cerpen tersebut ada di buku atau kumpulan cerpen berjudul "Rectoverso" salah satu bacaan favorit saya pribadi. di sana ada beberapa kumpulan cerpen, hanya saja yang difilkan hanya 5, nah salah satunya Malaikat Tanpa Sayap ini yang ceritanya ada di awal. Awalnya jatuh cinta sama karyanya Dee itu ketika saya baca novel Perahu Kertas itu.
pertama saya analisis cerpennya dulu deh.
Unsur intrinsik cerpen Malaikat Juga Tahu
1. Tema : Cinta sejati seorang Ibu
kepada anaknya
2. Penokohan :
a. Bunda (Protagonis)
Memiliki cinta sangat kuat kepada Abang
“Cintanya adalah paket air mata, keringat dan dedikasi
untuk merangkai jutaan hal kecil agar dunia menjadi tempat yang indah dan masuk akal bagi seseorang.
Bukan baginya. Cintanya tak punya cukup waktu untuk dirinya sendiri.”
b. Abang
(Protagonis)
Memiliki cacat mental (autis)
“Bukannya
tidak mungkin berkomunikasi wajar dengan Abang, hanya saja perlu kesabaran
tinggi yang berbanding terbalik dengan ekspektasi. Dalam tubuh pria 38 tahun
itu bersemayam mental anak 4 tahun, demikian menurut para ahli jiwa yang didatangi
Bunda”
c. Perempuan itu
(Antagonis)
Memiliki sifat egois
“mereka
berbicara berdua. Mereka sepakat untuk selama-lamanya pergi dari kehidupan
rumah itu. Tidak mungkin mereka terpenjara setiap minggu di sana.”
“Bagi
perempuan itu, cinta tanpa pilihan adalah penjara. Ia ingin dirinya dipilih
dari sekian banyak pilihan. Bukan karena ia satu-satunya pilihan yang ada.”
d. Adik Abang
(Antagonis)
Merupakan sosok yang sempurna
Memiliki
sifat yang egois
‘Anak bungsunya, yang juga laki-laki, menurut orang-orang
adalah figur yang sempurna. Ia pintar, normal, dan fisiknya menarik”
“Kami
tidak mungkin sembunyi-sembunyi seumur hidup!” Anak laki-lakinya setengah
berseru.
“Ini
tidak adil. Ini tidak masuk akal…,” protes anaknya lagi.
mereka
berbicara berdua. Mereka sepakat untuk selama-lamanya pergi dari kehidupan
rumah itu. Tidak mungkin mereka terpenjara setiap minggu di sana.
3. Alur
Maju, karena diawali dengan pengenalan.
Hal ini dapat diketehui sebab pengarang menguraikan peristiwa
dan kejadian bahkan konflik secara kronologis. Dari peristiwa atau kejadian
pertama kemudian disusul dengan peristiwa-peristiwa selanjutnya.
4. Sudut Pandang
Orang ketiga pelaku utama.
“Laki-laki
dan perempuan itu terbaring di atas rumput, menatap bintang yang bersembulan
dari carikan awan kelabu. Saat yang paling tepat untuk bermalam minggu di
pekarangan.”
5. Latar
a. Latar
tempat :
·
Di sebuah rumah
indekos
“Suatu
hari, pernah ada anak indekos yang jail. Dia menyembunyikan satu dari seratus
sabun koleksi Abang”
·
Di warung
“Baru
sore hari ia ditemukan di sebuah warung. Ada sabun yang persis sama dipajang di
etalase dan Abang langsung menyerbu masuk untuk mengambil”
b. Latar
waktu :
sore hari “Baru sore hari ia ditemukan di sebuah warung.”
Malam
hari “Laki-laki dan perempuan itu terbaring di atas rumput, menatap bintang
yang bersembulan dari carikan awan kelabu. Saat yang paling tepat untuk
bermalam minggu di pekarangan.”
c. Latar suasana
:
1.
Menyenangkan
“Laki-laki
dan perempuan itu terbaring di atas rumput, menatap bintang yang bersembulan
dari carikan awan kelabu. Saat yang paling tepat untuk bermalam minggu di
pekarangan.”
2.
Menyedihkan
“Tapi…
Bunda bukan malaikat yang bisa baca pikiran orang. Bunda tidak bisa bilang
siapa yang lebih sayang sama saya. Tidak akan ada yang pernah tahu.”
3. Mengharukan
Saat itu mata Bunda berkaca-kaca. Begitu
juga dengan matanya. Tak lama mereka menangis berdua.Pada setiap penghujung
malam Minggu, Bunda bersandar kelelahan dengan bulir-bulir besar peluh
membasahi wajah, anaknya yang berbadan dua kali lebih besar tertidur memeluk
kakinya erat-erat. Selain dengkuran dan napas anaknya yang memburu, tidak ada
suara lain di rumah besar itu. Semua pergi. Dobi telah mati.
6. Amanat
Dalam cerpen ini Dee yang
merupakan ibu dari dua orang anak, ingin menunjukan tentang makna dari cinta
yang abadi, tentang dedikasi seorang ibu kepada anaknya.
7. Gaya Bahasa
a. Majas
Hiperbola
“Mengubah rutinitas itu sama saja dengan menawar bumi agar
berhenti mengedari matahari”
b. Majas
Antonomasia
“sebutan untuk “Abang”
A.
Unsur ekstrinsik cerpen Malaikat Juga Tahu
Dewi Lestari ialah satu tokoh Indonesia
yang sukses di bidang musik dan juga sastra. Wanita yang lahir di bandung pada
tanggal 20 Januari 1976 ini mengawali kisah suksesnya dengan menjadi penulis.
Meluluskan sekolah di SMA Negeri 2 Bandung, Dee sapaan akrabnya kemudian
melanjutkan kuliah di Universitas Parahyangan jurusan Hubungan Internasional.
Latar belakang pendidikannya ini membuatnya fasih merangkai kata, yang kemudian
mendorongnya menjadi seorang penulis dan juga penyanyi terkenal
Karir
Menulis :
Karya Dee yang merupakan salah satu
inovasi di dunia perbukuan Indonesia adalah paduan fiksi dan musik dalam buku
sekaligus album Rectoverso. Buku ini
terbit pada Agustus 2008. ini adalah mahakarya unik dan pertama di Indonesia.
"Rectoverso" merupakan hibrida dari fiksi dan musik, terdiri dari
sebelas cerita pendek dan sebelas lagu yang bisa dinikmati secara terpisah
maupun bersama-sama. Keduanya saling melengkapi bagaikan dua imaji yang seolah
berdiri sendiri tapi sesungguhnya merupakan satu kesatuan. Inilah cermin dari
dua dunia Dewi Lestari yang ia ekspresikan dalam napas kreatifitas tunggal
bertajuk "Rectoverso". Dengar fiksinya. Baca musiknya. Lengkapi
penghayatan anda dan temukanlah sebuah pengalaman baru.
Cerpen yang paling terkenal dari buku
ini adalah Malaikat Juga Tahu yang mengisahkan cinta seorang ibu kepada anaknya
yang menderita autisme. Cerpen ini juga disajikan dalam sebuah lagu, dengan
kisah dan judul yang sama. Salah satu model video klipnya yang menggugah adalah
Lukman Sardi yang juga menjadi pemeran utama dalam Film Laskar Pelangi karya
Andrea Hirata.
Nilai
yang menonjol pada analisis unsur ektrinsik ini adalah:
1. Nilai
Moral
Pada
akhirnya, jika semua Cinta di dunia di adu, siapapun-tidak hanya Malaikat,
bahkan Tuhan pun tau Cinta Bunda-lah yang akan Jadi Juaranya. Karena cinta
Bunda sejati. Abadi. Tidak ada yang menandingi. Lebih murni dari cinta siapapun
di dunia ini. Cinta Bunda adalah bentuk Cinta Tuhan kepada manusia. Tuhan
mengirimkan seorang Malaikat yang nyata, yang terkadang kita lupa menyadarinya
bahwa dia adalah seorang malaikat. Dia adalah Bunda. Ibu kita.
2. Nilai
Sosial
Manusia adalah makluk sosial yang selalu
membutuhkan interaksi sesama walaupun memiliki perbedaan karakteristik satu
sama lain bahkan pertemuan di meja makan dengan memiliki selera yang sama dari
masakan Bunda, dapat mempersatukan dalam kehangatan sebuah pertemuan dengan
kuantitas yang banyak.
“Banyak
orang yang bertanya-tanya tentang persahabatan
mereka
berdua. Orang-orang penasaran tentang topik obrolan mereka dan apa kegiatan
perempuan itu selama berjam-jam di sana. Sudah jadi pengetahuan umum bahwa ibu
dari laki-laki itu, yang mereka sebut Bunda, sangat pandai memasak. Rumah Bunda
yang besar dan memiliki banyak kamar adalah rumah indekos paling legendaris.
Bahkan, ada ikatan alumni tak resmi dengan anggota ratusan, dipersatukan oleh
kegilaan mereka pada masakan Bunda. Setiap Lebaran”
Manfaat
Cerpen
Pemilihan
dan penetapan cerpen sebagai bahan/materi pembelajaran tentunya harus mengikuti
kriteria yang sudah ditetapkan secara umum yaitu:
a. Dilihat dari
segi bahasanya, cerpen ini jelas menggunakan bahasa yang bisa dipahami pembaca
orang Indonesia, yaitu bahasa Indonesia. Tidak hanya ini, gaya bahasanya pun
menarik dan pilihan katanya pun dapat memperkaya kosa kata siswa dalam hal
bidang keagamaan.
b. Latar belakang
budaya yang ditampilkan pun masih terasa umum. Jadi, siapa pun (baik yang
beragama Islam, kristen, Hindu,maupun Budha) bisa dengan mudah memahaminya dan
tidak menimbulkan pertentangan yang mendasar.
awalnya sih tau judul ini dari lagu dan bingung maksudnya apa. pas baca novelnya ternyata paham maksudnya apa.
kalau dari lirik bisa dianalisi begini.
Lelahmu...jadi lelahku jugaBahagiamu...bahagiaku pastiBerbagi takdir kita selaluKecuali tiap kau jatuh hati
Kali ini hampir habis dayakuMembuktikan padamu ada cinta yang nyata Setia hadir setiap hariTak tega biarkan kau sendiriMeski sering kali kau malah asyik sendiri
Karena kau tak lihatTerkadang malaikat tak bersayapTak cemerlang, tak rupawanNamun kasih ini, silakan kau aduMalaikat juga tahuSiapa yang jadi juaranya
Hampamu tak kan hilang semalamOleh pacar impian, tetapi kesempatanUntukku yang mungkin tak sempurnaTapi siap untuk diujiKu percaya diri, cintakulah yang sejati
Namun tak kau lihatTerkadang malaikat tak bersayap,Tak cemerlang, tak rupawanNamun kasih ini, silakan kau aduMalaikat juga tahuSiapa yang jadi juaranya
Kau selalu meminta terus kutemaniDan kau s'lalu bercanda andai wajahku digantiMelarangku pergi karena tak sanggup sendiri
Namun tak kau lihatTerkadang malaikat tak bersayap,Tak cemerlang, tak rupawanNamun kasih ini, silakan kau aduMalaikat juag tahuAku kan jadi juaranya
Kali ini hampir habis dayakuMembuktikan padamu ada cinta yang nyata Setia hadir setiap hariTak tega biarkan kau sendiriMeski sering kali kau malah asyik sendiri
Karena kau tak lihatTerkadang malaikat tak bersayapTak cemerlang, tak rupawanNamun kasih ini, silakan kau aduMalaikat juga tahuSiapa yang jadi juaranya
Hampamu tak kan hilang semalamOleh pacar impian, tetapi kesempatanUntukku yang mungkin tak sempurnaTapi siap untuk diujiKu percaya diri, cintakulah yang sejati
Namun tak kau lihatTerkadang malaikat tak bersayap,Tak cemerlang, tak rupawanNamun kasih ini, silakan kau aduMalaikat juga tahuSiapa yang jadi juaranya
Kau selalu meminta terus kutemaniDan kau s'lalu bercanda andai wajahku digantiMelarangku pergi karena tak sanggup sendiri
Namun tak kau lihatTerkadang malaikat tak bersayap,Tak cemerlang, tak rupawanNamun kasih ini, silakan kau aduMalaikat juag tahuAku kan jadi juaranya

jadi terlihat bahwa maknanya jika dilihat menyeluruh itu gak ada cinta setulus itu kecuali cintanya orang tua. diliat pada baik pertama itu memang kesedihan anak itu akan menjadi kesedihan orang tua karena orang tua itu membahagiakan anaknya bukan main dengan usaha dan perjuangan yang gak mudah. kalau bahagia sudah pasti dan jelas sekali menjadi tujuannya.
terlebih kita jarang menyadari bahwa malaikat itu adalah orang tua karena malaikat bukan perihal bentuk dan rupa tetapi rasa dan kehangatan yang dirasakan seseorang. dilihat pada lirik
Namun tak kau lihatTerkadang malaikat tak bersayap,Tak cemerlang, tak rupawanNamun kasih ini, silakan kau aduMalaikat juga tahuSiapa yang jadi juaranya
dan yang paling ngena ini sihKali ini hampir habis dayakuMembuktikan padamu ada cinta yang nyata Setia hadir setiap hariTak tega biarkan kau sendiriMeski sering kali kau malah asyik sendiri
jadi ga perlu kita galau atau patah hati berlarut. ga perlu merasa down merasa ga ada orang yang sayang sama kita, karena cinta sejati itu ada di sekeliling kita dan kita harus syukuri itu.
dan yang paling ngena ini sihKali ini hampir habis dayakuMembuktikan padamu ada cinta yang nyata Setia hadir setiap hariTak tega biarkan kau sendiriMeski sering kali kau malah asyik sendiri
jadi ga perlu kita galau atau patah hati berlarut. ga perlu merasa down merasa ga ada orang yang sayang sama kita, karena cinta sejati itu ada di sekeliling kita dan kita harus syukuri itu.
Comments
Post a Comment