Abulia
Abulia
Butiran hujan mulai
hinggap di jendela sore itu. Aku memandanginya lewat kamar sambil menengok ke
arah luar jendela, memastikan hujan yang baru saja turun itu tidak deras dan
butirannya semakin berkurang. Rasanya, hujan turun kurang tepat kali ini. Seolah
ia tidak ingin memberikan kesempatan ke
sebuah pertemuan.
Drett… Handphone berdering
“aku sudah di depan rumah”
Tanpa membalasanya aku langsung ke
luar. Kami sudah seminggu tidak berjumpa karena kesibukannya menjalani semester
akhir yang merenggut waktunya dariku. Saat bertemu, tanpa basa-basi aku
mendekati dan bercengkerama dengannya.
“kan hujan, kamu nekat? kamu
sekarang menyebalkan. Udah jarang ketemu bikin baper terus”
“buat kamu ko sayang, ayo
berangkat”
“masih hujan” jawabku sambil
menengadah ke langit
“aku tidak mau membuang waktu lagi,
ini kesempatan aku sekarang”
Aku hanya senyum menanggapi
ucapannya, ia langsung memakaikanku jas hujan dan helmnya. Orang yang sedang
memboncengku di motor bebeknya ini adalah pria yang sedang menemaniku satu
tahun terakhir. Pria yang selalu aku uji kesabarannya. Entahlah, bertemu
dengannya kali ini terasa sangat menyenangkan, karena baru kali ini kami
dihalangi oleh kesibukan dalam waktu yang cukup lama. Saat itu berada
dipelukkannya adalah tempat ternyaman. Aku tidak pernah berpikir akan ada apapun
lagi selain saling menjaga komitmen satu sama lain. Tapi ternyata kita tidak
akan pernah tahu bahwa badai bisa datang kapan saja, tidak peduli kamu siap
atau tidak. Tidak peduli kamu sudah memiliki tempat untuk berlindung atau
tidak.
Awalnya
hubungan satu tahun tiga bulan kami masih biasa aja, berjalan lancar seperti
biasanya. Tapi suatu ketika, saat hening itu membuat sepi. Tepat hari kamis,
pukul 14.00
Tinggg… tanda pesan pada telepon
genggamku berbunyi, memang sebenarnya suara itu sudah menggangguku yang sedang
serius membaca salah satu novel dari penulis favoritku. Karena aku tau itu
pasti berasal dari salah satu grup, niat hati membuka pesan itu ingin
mesenyapkan nada deringnya, tapi terhenti saat isi pesannya itu memberitahu
bahwa nanti akan ada acara reuni SMP yang dilaksanakan pada hari sabtu, saat
itu juga aku langsung tertarik dan menyetujui untuk hadir ke acara itu tanpa
berpikir panjang.
Saat malam datang, barulah Rio akan
menghubungiku, karena saat itu waktu ia banyak kosong.
“Halo, assalamualaikum”
“walaikumsalam…” jawabku dengan
nada senang bukan main. Karena saat ini ia sudah jarang sekali menghubungi via
telepon
“aku baru bisa kasih kabar, maaf ya
sayang. Hari ini lumayan sibuk, soalnya banyak juga yang sekalian bimbingan.
Kamu gimana hari ini?”
“gak sama kamu, aku cuma bisa diem
di rumah, baca novel, liatin ujan, terus
banyak ngemil”
“maaf ya sayang. Sabar. Setelah ini
nanti sedikit akan ada waktu luang untuk kita bisa ketemu lagi nanti yah.”
“iya gak apa-apa kok. Kamu yang
fokus aja ya, semangat buat ngejar lulusnya. Yaudah, kamu istirahat sana, udah
malem loh. Besok kan masih harus magang”
“iya. Kamu juga yah tidur. Jangan
keterusan bacanya sampai pagi. Selamat malam.”
“malam sayang”
Rindu itu hadir karena jarak dan
membuat sebuah perbincangan semakin syahdu di setiap kesempatan untuk saling bertatap
atau sekedar untuk berbincang via suara. Mungkin, ini adalah hikmah dari sebuah
jarak. Mungkin inilah pisah yang berbuah bahagia.
Hari
sabtu datang, seperti biasa. Ia hanya membawa kabar saat pagi dan memberi semangat
juga petuah lainnya dalam bentuk pesan pada telepon genggamku. Aku hanya bisa
membalas dengan menelponnya untuk memberikan semangat balik yang mungkin akan
membuat sedikit harinya merasa lebih bersemangat. Dan aku ingat setelah
perbincangan kemarin bahwa hari ini pukul 13.00 aku akan menghadiri acara
reuni. Sesampai di salah satu rumah makan di daerah Bogor aku celingak-celinguk memperhatikan setiap
meja yang diisi oleh pengunjung. “Lin.. Olin…” teriak Andin dari meja sebelah
utara sambil melambaikan tangannya ke arahku yang sedang kebingungan mencari
orang. Aku pun langsung menghampiri.
Masuk dalam
pembicaraan mereka membuatku tenggelam pada cerita yang membuat canda dan tawa,
sampai akhirnya seseorang berkacamata dengan wajah khas orientalnya yang baru
saja datang pada reuni itu menyapa kami semua. Dengan spontan aku langsung
menyadari suaranya. Ya dia. Suara pertama yang menyapa saat aku baru masuk SMP.
Suara yang pertama kali kudengar dan meminta sebuah nama dariku. Ia duduk tepat
di sampingku dan menyapa lewat senyumnya yang sama persis ia pamerkan padaku
beberapa tahun lalu.
“Eh Adi, apa kabar?” sapaku saat
mengetahui ia langsung duduk di samping.
“Baik, Lin. Lu gimana kuliah?”
balasnya sambil sibuk melepas tas gendongnya
Namun, belum sempat aku menjawab pertanyaannya,
candaan kecil sudah terdengar dari sudut bangku yang sedang kami duduki. Karena
memang saat SMP sempat menjadi trending
topic satu angkatan soal kedekatan kami. Sejak saat itu, aku merasakan
jatuh cinta kedua kalinya dengan orang yang sama.
Dengannya,
laki-laki pertama yang masuk ke dada sebelah kiriku dan membuat aku tak karuan
semalaman. Pertemuan kami sangat menyenangkan, hingga tidak menyadari waktu
semakin larut, setelah lama berbincang dan banyak menghabiskan makanan akhirnya
kami memutuskan untuk pulang. Dan karena rumahku searah dengan Adi, ia bersedia
mengantarkanku pulang. di jalan kami lebih banyak mengobrol berdua, soal masa
depan kami, cita-cita, hingga mengenang kekonyolan kami saat SMP. Mulai saat
itu, semuanya semakin menjadi rumit. Perasaan yang telah ada memang lebih mudah
muncul kembali.
Malam ini, Rio tidak
menelepon atau memberi kabar lewat SMS. Tidak biasanya. Mungkin ia terlalu
lelah menaklukan hari hingga rembulan yang menenggelamkannya. Tapi anehnya aku
tak lagi menunggunya, tak lagi mencarinya. Justru aku malah menunggu kabar dari
Adi saat memberitahu ia sudah sampai rumah. Itu hal pertama yang sangat aneh,
Rio sudah tidak lagi menjadi nomor satu yang ada di otakku. Tak lama aku sedang
bengong membolak balik telepon genggam, tiba-tiba HPku berdering menandakan panggilan masuk, tapi itu panggilan dari
Rio, kami berbincang selama 10 menit saling bertanya kabar dan aku mendengarkan
ia cerita mengenai harinya. Rasanya malah terasa biasa, hambar. Aku malah lebih
dulu menyudahi percakapan itu dengannya dengan alasan mengantuk. 10 menit
setelah kuputuskan akan tidur, sedang siap-siap mengatur posisi dan menarik
selimut HPku kembali berdering
mendadakan pesan masuk, yang aku kira itu adalah pesan dari Rio, tapi setelah
ku lihat itu pesan dari Adi. Saat itu aku langsung bangun dengan spontan karena
bahagia. Sejak saat itu aku dengannya melanjutkan komunikasi kami. Kami jadi
sering bertelepon setiap malam, malah tak jarang kami menggunakan video call untuk melihat wajah masing-masing,
entah hanya bertukar cerita dengannya mengenai kegiatan sehari-hari kami.
Cerita mengenai Rio padam seketika, Aku tak pernah lagi menunggunya. Menunggu
setiap kabarnya, pesannya, suaranya, ceritanya, senyumunnya. Segalanya sudah
berbanding terbalik, justru sering sekali aku yang mengakhiri duluan jika
berbincang dengannya. Bertemu pun sudah sangat jarang. Bahkan aku sering
membatalkan untuk bertemu dengannya demi bertemu Adi.
Hubunganku
dengan Adi semakin jauh, aku sudah sering jalan bersama. Adi tahu aku sudah
memiliki Rio. Hanya saja ia yang tak pernah menghiraukan Rio, dia pikir kami
hanya sebatas berteman dan salahku saat itu selalu cerita segala hal buruk
tentang Rio, tanpa pernah berpikir sedikitpun hal manis yang juga pernah ia
berikan. Aku terlalu hanyut dengan keadaan ini. Belum lagi Adi adalah orang
yang pernah aku tunggu dua tahun lalu. Semuanya berjalan cukup lama, Adi
menemaniku hampir tiga bulan, aku tidak bisa melepaskannya, aku terlalu egois,
kala itu aku yang memilih untuk diam dan menutup hati, mata, dan pikiranku. Aku
merasa sekarang Rio sudah bukan prioritas, pernah waktu itu ia mengajakku
bertemu setelah sebulan kami tidak bisa berjumpa karena setiap kali ia mengajak,
aku selalu beralasan sibuk dengan tugas kuliah. Aku sangat gugup ketika harus
membalas pesan Adi saat jalan ke luar bersama Rio. Aku memang merasa saat kami
sedang jalan berdua aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan telepon
genggamku, sampai dia marah kepadaku dan kami bertengkar di jalan pulang.
Sejak saat itu Rio
tidak menghubungiku selama tiga minggu, anehnya aku yang tidak merasa
kehilangan atau mencarinya. Aku tak penah berpikir ternyata banyak perubahan
sikapku kepadanya, kupikir dengan kesibukannya ia tak akan menyadari hal itu.
Dengan keadaan seperti itu justru memberi peluang untuk hubunganku dengan Adi.
Kami semakin dekat dan sering jalan berdua, sampai akhirnya semakin mengenal
dekat dengan Adi aku semakin menemui sifat aslinya yang tempramen dan mudah
tersinggung, jadi aku lebih dominan untuk mengalah. Pernah sesekali ia
membentakku di depan umum hanya karena aku merengek ingin membeli sebuah novel
yang sudah kutunggu. Aku sangat merasa kaget, segalanya berbeda, saat aku
menjalaninya dengan Adi, ia jauh lebih sabar dan tau bagaimana menghadapiku.
Sejak saat itu aku sadar satu hal, aku sudah meninggalkan Rio jauh di belakang
sana hanya untuk keegoisan sesaat. Untuk saat itu aku hanya ini cepat-cepat
sampai rumah. Dan saat itu aku benar-benar pergi tanpa pamit kepada Adi. Ia
terus menghubungiku, tapi tak pernah aku hiraukan lagi.
Sesampai di
rumah aku terus mencoba menelepon Rio, tetapi tak pernah ada jawaban. Aku
memutuskan untuk menulis pesan untuknya
“Aku mau kita bertemu besok, kamu
bisa? Ada hal yang harus aku omongin sama kamu”
Selang setengah jam aku tersadar
dari lamunanku berderinglah telepon genggamku yang sedari tadi kutunggu. Rio
langsung meneleponku.
“hai, maaf aku baru megang HP.
Akhirnya aku selesai wisuda hari ini dan udah lulus Lin”
Tes… air itu yang sedari tadi aku
tahan akhirnya terlepas. Sampai aku tak tahu lagi. Selama beberapa bulan ini
aku begitu mengabaikannya. Sampai pada hari di mana ia harusnya kutemani pun
aku malah melewatkannya.
“maaf” dengan paksa aku menahan
suara lirih
“gapapa sayang, kamu gamau ucapin
selamat buat aku? Yaudah besok kita ketemu yah. Aku mau istirahat duluan
boleh?”
“iya, selamat untuk kamu, selamat
beristirahat dan selamat tidur”
Keesokannya ia langsung menjemputku
di rumah, tanpa banyak bicara kami langsung menuju salah satu taman terkenal di
kotaku. Kami berbicara di sana. Semuanya.
Hal yang benar-benar terjadi semenjak 3 bulan kedekatan aku dengan Adi aku
menceritakan dengan diiringi tangis. Penyesalan memang selalu datang belakangan
dan kamu tak akan menyadarinya sebelum hal resiko terburuk datang. Saat bercerita
ia masih sangat tenang mendengarkan, walau aku rasa ia tak lagi dapat menahan
emosi.
“aku udah tau semuanya semenjak
sebulan lalu, sikap kamu berubah drastis, ga sengaja aku liat chat dia di facebook pas aku iseng cari tahu, yang
ga lama chatnya langsung kamu hapus, aku sudah mulai curiga saat itu. Ternyata
sampai sekarang kamu baru mau bilang. Aku sengaja gamau bahas karena aku menuju
sidang. Maaf sampai kamu bisa nyaman dengan orang lain, aku terlalu lama cuekin kamu.”
“kamu orang terbaik buat aku”
“tapi maaf keputusan aku berbeda. Mungkin
kamu bisa lebih bahagia sama dia, kamu boleh milih dia karena aku ga bisa
jagain kamu dengan baik. Terima kasih Olin, kamu udah mau sabar nunggu aku
sampai lulus, kalau ada kesempatan aku bakalan tepatin janji aku kalau aku mau
buat kamu bahagia pake usaha aku sendiri. Aku sayang banget sama kamu.” Ia
langsung pergi dengan menahan air matanya. Semakin jauh, bayangnya tenggelam di
sungai tandus itu.
Biarlah kini
rindu yang bercerita sendiri tentang suaranya, candanya, dan hari barunya
kepadaku nanti, biarkan rindu yang menemaniku mengenang segala cerita dulu.
Nikmati saja, barangkali akan ada saatnya kau akan rindu dengan situasi yang
seperti ini. Itu sudah keputusan terbaik. Aku yang salah. Aku yang memang tak
pantas untuk laki-laki sebaik dia. Tapi bersyukurlah aku, pernah menjadi bagian
dari ruang hidupnya, menjadi perempuan beruntung yang diberikan janji dan masih
ingin berusaha untuk menepatinya. Pipiku masih basah dan aku masih terpaku di
bangku taman itu. Biarkan diriku sendiri menikmatinya ditemani angin sore itu.
Comments
Post a Comment