Lembayung
Malam tidak akan bisa meniduriku jika batin dan pikiran berkecamuk menanyakan mengapa ia yang sudah bersamaku selama 2 tahun ini tak kunjung dapat dihubungi sejak 2 hari kemarin. Sampai akhirnya kupilih bangkit dan membuka tirai jendela untuk keluar menikmati suasana Jakarta pukul 22.05 malam ini. Menikmati beberapa kendaraan yang lalu lalang, melihat tukang nasi goreng yang masih berjualan dengan sabarnya melangkah, melihat kucing kampung yang sedang terdiam karena kelaparan, melihat warga yang mulai berdatangan untuk ronda sambil menutup mulutnya karena menguap. Langit malam ini tidak bisa kunikmati seperti biasanya, tidak juga senikmat perasaan resah yang saat ini masih hinggap dan tak kunjung enyah. Sudah 15 menit aku berdiri di sini, sampai akhirnya aku kalah, kembali menutup selimut dan menutup mata rapat-rapat.
“Ra, kok mukamu ga ada semangat hidup amat?”tegur Mika mengagetkanku. “ah, Kamu Mik. Aku sampai nyaris menjatuhkan si kaktus nih. Engga, biasa aja deh kayaknya, Cuma paling kurang tidur aja.”ucapku sambil membenarkan posisi pot yang tadi tidak sengaja aku senggol. Aku yakin ia tahu alasan tepat aku sering melamun beberapa minggu ini. Aku sudah menceritakannya kemarin saat Apip mulai tidak memberiku kabar bahkan sibuk sampai lupa memberitahu kegiatannya. Sebenarnya dibalik lamunan itu ada banyak hal yang berkecamuk dalam otakku. Lalu, kami larut pada pekerjaan kami masing-masing.“Ra, jangan terlalu dipikirin. Untuk orang se-workholic Apip ga ngabarin tiga hari itu hal yang sepele dan wajar. Lagian, dia juga suka ga jelas juga, kamu kenapa sih masih aja dipertahankan? Udah LDR (long distance relationship) hampir satu tahun tapi kamu belum juga diberikan kepastian dan malah makin gak jelas”Mendengar ucapan Mika aku hanya mengangguk. Karena untuk kepastian, aku pun tidak tahu mengapa hal itu masih saja tidak membuatku ragu. Justru yang aku tahu, langkahku hanya untuk selalu berjalan beriringan bersamanya.
Aku masih dengan rutinitasku yang semakin menjenuhkan, seputar rumah, kantor, tidur, makan, atau sesekali ikut hangout yang sekedar makan, nonton bioskop, atau hanya nongkrong di kedai kopi dekat kantor. Dunianku mendadak kelabu, bukan ketiadaannya yang berat, tapi kebiasaan dan kenyamanan yang telah ia timbulkan dan membuatku merasa hilang. Sebulan berlalu, kebiasaanku mulai bergeser 45︒. Aku semakin membiasakan diri dengan atmosfir baru di mana tidak ada nyanyian nina bobboku saat akan tidur, video call sampai larut ketika malam minggu tiba. Selain itu, keadaan kantor pun berubah karena ada beberapa orang yang harus pindah ke cabang, kantor pusat, bahkan ke cabang baru di luar kota dan digantikan dengan karyawan baru. “Ra, are you ok?”tanya Mika menyadarkanku dari lamunan depan komputer. “Ah ya, sorry. I just slept late, last night.” Spontan jawabanku agar tidak terlihat sendu. “You can”t lie to me, Ra. Still about him? You’re no longer you since he went away from you..”untuk semua hal yang dikatakan Mika, aku cuma bisa meresponnya dengan diam. “Terserah kamu deh, Ra. Kalau kamu bilang itu prinsip. Ada hal yang ga semuanya bisa kamu jangkau dan harus kamu relakan. Melepaskan itu jauh lebih melegakan Ra. Trust me! Its only about the time.” Aku hanya bisa diam dan Mika meninggalkanku dengan membawa mug.
Tiga bulan berlalu dan keadaan menjadi lebih baik, aku mulai terbiasa, ada sesuatu yang baru dan membuat hariku sedikit berubah. Dio sekarang menggantikan posisi ia sedikit. Dio, karyawan baru yang masuk ke kantor dua minggu lalu. Entah karena kerjaan yang intens antara kami karena posisinya yang mengharuskan kami saling berinteraksi hampir setiap hari dari awal ia masuk sampai sekarang. Aku merasa perhatian yang ia berikan tidak biasa dan memiliki makna. Entah menungguku untuk makan siang bersama, mengantar pulang padahal rumah kami beda arah, atau sekedar meminjamkan jaketnya ketika aku mendadak terkena demam tinggi di kantor dan aku yang tidak ingin pulang lebih awal karena dekat dengan waktu pulang kantor.
Rasanya begitu saja ia masuk dan aku mempersilakannya, tidak menolak atau menahannya. Semua berjalan begitu saja. Empat bulan berlalu, aku dan Dio semakin akrab. Sampai seisi kantor sangat antusias untuk meledek kami saat bersama, apalagi Mika. Ia yang selalu mendesakku untuk memberikan kepastian untuk Dio. Sampai lupa, bahwa aku saat ini masih memiliki satu hubungan rumit yang belum memiliki ujung. Dan hampir sebulan aku tidak pernah mengecek gmail. Namun, ketika tengah malam. Tepat hujan turun dengan derasnya. Aku masih belum bisa terlelap dan membuka gmail untuk mengecek beberapa pesan masuk, seketika aku bergetar dan hanya bisa terdiam selama 5 menit. Ada dua notifikasi dengan hari berbeda.
Ia meruntuhkan tembok pertahananku dengan hebatnya. Kubuka notifikasi tersebut dan kubaca perlahan.
6 Juni 2018, 01.00 WIB
Apip Tastiawan
To Raina Wijaya
Hi, its me...
So sorry for last few months. Aku beneran sibuk, Love. I have a new project. Aku harap kamu bisa maklum dan ngerti, kamu apa kabar? Gimana kerjaan? Jakarta dan Bandung? Aku rindu lho, tapi belum bisa facetime, love. Di sana pasti sudah jam 1 malam kan? Aku mau istirahat ini capek seharian sibuk.
Pesan pertama. Tanpa alasan ada kristal bergantungan di daguku.
26 Juni 2018, 16.00 WIB
Apip Tastiawan
To Raina Wijaya
Hi, its me...
Love, are u ok? Tumben ga bales email aku. Aku masih belum instal WA. Kamu baik-baik ya. Love you!
Kututup laptop, ambil headset dan menyetel lagu I Dont Want to Miss a Thing- Aerosmith dengan volume full. Rasanya ingin teriak di Everest dan lari ke Timbuktu buat main sama paman gobber.
“Mik, look at that.”sapaku pertama kali melihat Mika yang sedang membereskan meja kerjanya. “that’s great. It is what you’ve been wait for. How’s your feel? Tapi..., Matamu sudah bisa menjawab apa yang terjadi setelah kamu baca pesan ini malam tadi, Ra”aku yakin, Mika sebenarnya tidak suka mendengar kabar ini, ia paham betul bagaimana aku menyusun kembali kepingan puzzle hingga akhirnya kembali ke posisi semula. “im not sure. Yu ah kerja. Masih pagi. Please, ajak aku makan seblak super pedes di sebrang nanti.”
Aku membalas pesannya tepat 21.00 WIB dan di Melbourne sekitar pukul 12.04 malam.
To Apip Tastiawan
Hi...
Maaf juga baru liat karena jarang cek gmail. Aku sibuk cari kesibukan di sini :D Aku baik-baik aja kok, Pip. Kamu gimana? Its ok. Aku juga lagi sibuk-sibuknya di kantor. Banyak lembur. Kamu juga baik-baik dan jaga kesehatan terus. Aku harap waktu tidak menenggelamkan kita, Pip. Aku bingung. Salam rindu :p
Setelah 15 menit aku tutup telepon genggam, tiba-tiba ada notifikasi facetime masuk. Itu Apip. Spontan aku langsung mengangkatnya. Kami berbincang banyak hal termasuk ia menayakan apa maksud bingung yang aku katakan di pesan elektronik yang baru saja aku kirimkan. Tiga bulan kami terbayar dengan 145 menit percakapan kami malam itu. Bahagia! Aku Cuma mengenal satu makna malam itu. Benteng yang aku ciptakan untuk memberikan jarak seketika runtuh.
“Ra, kemarin Bu lina bilang ke aku bulan ini kita dapet jatahnya ke Melbourne soalnya sekalian mau ambil jadwal dia mau audit ke kantor sana. Jadi kita berangkat jumat sampai senin.”seketika aku batuk sekaligus kaget dan menunjukan durasi facetimeku semalam dengan Apip. “Gimana sama Dio, Ra? Dia masih belum tau soal Apip?.”protes Mika dengan muka kecutnya. “aku ragu, semua manis di awal Mik, dan aku ga cari yang seperti itu. Awalnya aku sama Apip gitu kok, ak sudah sejauh ini, aku pikir dengan siapapun juga nantinya, fase ini akan aku hadapi”lanjutku mengatur jadwal pemberangkatan kami. “Terus Ra, empat bulan kamu sama dia apa? Kertas kosong? Coretan anak umur 3 tahun yang punya warna tapi gak punya makna? Kamu salah kalau menyamakan dia sama Apip. Ra. Dia ga pernah bikin kamu meras ga nyaman dalam posisi apapun, itu satu hal yang aku lihat dari dia, beda sama Apip yang baru jadian sebulan aja sudah buat kamu dilema karena sifatnya yang kurang tegas sama adik kelasnya yang cinta mati sama dia.”lagi-lagi aku Cuma bisa dibuat diam oleh pernyatanan Mika. Tapi entah, firasat dan hati aku semakin kuat kalau aku akan terus jalan beriringan dengannya. Hatiku masih dominan soal perasaan dan masa depan dengannya, ia pernah menjanjikanku hal itu. Ia hanya butuh waktu untuk mempersiapkan semuanya.
Selama pendekatan aku dengan Dio berjalan hampir empat bulan, aku sudah jarang bercerita hal pribadi dengan Mika. Ia tahu betul, langit kelabuku sudah memiliki matahari atau entah memang ia tidak ingin langitku kembali mendung ketika harus membicarakan Apip. Sampai saat ini, ia baru saja memberikanku hantaman hebat yang membuat aku banyak berpikir. Selama pendekatan aku dengan Dio aku nyaris tidak tahu apakah dia tahu aku sebenarnya memiliki hubungan complicated dengan Apip. Ia hampir tidak pernah membahas masalah pribadi kecuali hal yang paling ia suka dariku adalah ketika menceritakan semua hal kecil sampai penting mengenai keluargaku di Bandung. Sempat beberapa kali ia mengantarku pulang ke Bandung ketika mendapat long weekend. Namun, sudah beberapa hari ini aku sedikit membuat jarak dengan Dio, kami sudah jarang komunikasi intens, kami pun sudah tidak pernah pulang bareng lagi. Kembalinya Apip membuat jarak antara kami. Hal tersebut juga tak lepas dari nasihat dan petuah yang diberikan Mika pastinya. Mika tidak ingin aku membuat keputusan yang salah.
Pemberangkatan kami akhirnya tiba, Dio termasuk di dalamnya. Namun kami sudah tidak saling mengobrol banyak, aku yakin ia sudah tahu masalahku dengan Apip lewat Mika. Tapi waktu itu Mika pernah mengatakan suatu teka-teki yang sampai sekarang aku tidak paham maknanya, “Dio punya sesuatu yang belum Apip punya buat kamu, Ra. Tunggu aja, waktu yang bakalan mengubah keyakinan kamu buat milih jalan mana yang akan kamu lewatin.”itu kalimat yang sedikit membuatku bingung. Aku hiraukan. Seperti biasa, Mika duduk di sebelahku dengan membawa dua bantal leher, ia tahu betul aku tidak akan sedetail itu untuk mengingat bawa hal kecil yang sangat penting. “Apa reaksi Apip tahu kamu mau ke Aussie, Ra?”ucapnya sambil memberikanku bantal leher. “Aku ga bilang, Mik. Aku mau kasih surprise ke apartnya.”ucapku sambil senyum-senyum. Mika hanya membalas dengan muka sedikit kaget sambil senyum dan memalingkan tubuhnya yang menandakan untuk tidur. “Ra, makan. Dari tadi siang aku ga lihat kamu minum dan makan karena sibuk urus pemberangkatan kita.”Dio menyodorkan sebuah coklat. Aku langsung melepaskan headset dan mengambil coklat yang diberikan Dio.“makasih”. “have a fun flight, Ra.”ucapnya sambil tersenyum dan meninggalkanku kembali ke tempat duduknya. Bibirku kelu, dirasa hatiku sudah mengeras menjadi batu. Sampai tidak bisa diluluhkan dengan hal manis yang Dio selalu lakukan untukku, ini bukan sekali dua kali ia memberikan makanan, ia selalu memperhatikan hal kecil yang aku lakukan, seperti saat aku ingin sekali nonton konser Maliq D’essentials tapi aku sampai lupa memesan tiket karena kerjaan yang super numpuk, tiba-tiba dia datang menjemputku dan kami langsung berangkat ke JCC. Dia lebih dari manis.
Akhirnya kami sampai di hotel pukul 1 siang, kami langsung makan dan istirahat di kamar masing-masing sampai nanti pukul 3 sore, kami akan mengadakan meeting di lobby hotel untuk mengadakan rapat evaluasi. Aku punya waktu tiga hari di sini, mungkin besok pagi aku akan ke apartement Apip. Ia libur kalau hari sabtu dan juga karena jadwal penerbanganku ke Sydney sekitar pukul 9.00 pagi. Hari ini, hari terlelah yang pernah aku jalani. Pukul 9 malam aku langsung kembali ke kamar untuk tidur lebih cepat.
Pukul 6.00 aku sudah bangun dan langsung siap-siap menuju tempat Apip. “ehem... niat banget? Kamu yakin mau sendirian ga aku temani? Jauh banget lho, naik pesawat saja 2 jam kamu juga gatau tepatnya sekarang Apip di mana.”suara Mika mengagetkanku yang sedang menyisir rambut. “gak usah kok, kamu lanjut tidur aja kan semalem kamu tidur larut banget. Aku bisa cari di maps dan tanya orang-orang nanti. Yang penting aku tau alamat lengkapnya. Lagian aku jadinya naik pesawat Mik. Ga mungkin banget naik kereta. Tolong bilang Bu Lina ya Mik aku ada urusan hari ini jadi ikut jalannya besok aja.”ucapku untuk meyakini Mika. “Baiklah, hati-hati kalau begitu. Kamu jangan lupa sarapan dulu ya. Aku lanjut tidur dulu sebentar.”aku hanya memberi isyarat lewat jari melingkar.
Perjalanan dari hotel ke Bandar Udara Kingsford Smith sekitar 45 menit. Bersyukurlah aku hidup di zaman digital, semua tersedia di internet. Sampai bandara aku menunggu sekitar 20 menit untuk take off. Lagi-lagi aku hanya melihat kertas betuliskan 359 Crown Street, Sydney, Australia sambil tersenyum membayangkan pertemuan hangat kami setelah satu tahun lebih tidak berjumpa. 2 jam perjalananku terlewati, setelah berhasil bertanya pada petugas bandara ternyata ke alamat Apip tidak jauh, hanya 20 menit menaiki bus. Setelah sampai, aku mulai menanyakan lantai berapa Apip tinggal, aku menaiki lift dan memencet tombol di angka 3. Rasanya tidak karuan, semakin angka dalam lift bertambah, semakin kakiku dirasa beku. “Raina... how can you be here?” tanyanya dengan suara yang sudah asing lagi di telingaku. Dia, Apip. Tujuan utamaku ada di negara ini. “surprise” sapaku sambil memeluknya. Kulihat wajahnya sedikit kaget dan terlihat senang. “Tell me!” ucapnya sambil mengusap dahiku, “aku ada rapat evaluasi kantor di Melbourne sama bu Lina dan Mika sampai hari senin. Kamu mau ke mana? Ko kayaknya mau pergi?”. “terus kenapa kamu ga bilang sama aku? Kita bisa janjian. Dari sana ke Sydney jauh, Ra. Terus aku juga ada jadwal rutin kumpul sama teman di kedai kopi sebrang sana. Kamu bisa nunggu di kamar aku aja? Sampai jam 1 aku balik lagi dan kita bisa jalan.””its ok” balasku sambil memasang raut sedikit kecewa. Sambil menunggu ia, aku mengoprek seisi kamarnya. Kulihat foto kebersamaan ia dengan teman-temannya, rekan kerjanya, beberapa orang yang kelihatannya atasannya, juga beberapa kebersamaan ia bersama teman perempuannya yang sudah mulai akrab atau memang tradisi di sini yang seperti itu, namun tidak ada satu foto kami di sini. Entahlah, aku tidak mau menduga. Sampai akhirnya aku terlelap.
“Bangun Ra, ayo siap-siap kita makan siang. Aku sudah lapar” gerakannya sambil mengusap dahiku sampai akhirnya aku terbangun dan kami langsung makan ke salah satu resto makanan Turki yang tidak jauh dari tempat Apip ini. Ada yang berbeda dari pertemuan kami kali ini, tidak sesuai ekspetasiku, dia tidak lagi senang bercerita seperti biasanya, aku lebih dominan membuka percakapan. tawanya, senyumnya, raut wajahnya tidak seantusias satu tahu lalu. Tapi entahlah, aku tidak ingin berprasangka buruk karena ini pertemuan yang sudah sangat lama aku tunggu. Ketika kami sedang asyik menyantap makanan sambil berdiskusi dan bercanda tawa, tiba-tiba telepon genggamnya berdering menandakan telepon masuk.
“ya Sharren , what happened?”
“Oh God... where are you now?”
Spontan aku berhenti melahap. Aku hanya bisa mendengar pembicaraan mereka dari ekspresi wajah Apip dan pembicaraannya. Sepertinya ada sesuatu yang mengkhawatirkan. Dan ia berbicara dengan perempuan. Aku benar-benar tidak tahu apapun tentangnya 2 tahun terakhir ini
“oh oke..oke.. dont cry ya. I’ll come as soon as possible. Wait to me and dont go anywhere.”ia langsung menutup teleponnya dan membereskan piringnya. “Sayang, maaf aku harus pergi ke rumah temanku. Dia habis kerampokan dan sangat shock. Aku ga tahu pasti apa yang terjadi tapi aku harus ke sana.”melihatnya seperti itu. Aku hanya bisa terdiam. Tak lama ia membayar makanan kami. Telepon genggamnya masih di meja, kulihat perempuan itu menelepon lagi lewat Line, terlihat jelas perempuan itu adalah sosok yang aku lihat juga di kamarnya tadi. Tanpa basa-basi dan berniat mengajakku, ia hanya mengusap pipi dan meninggalkanku begitu saja. Hatiku, hancur. Aku hanya terdiam tanpa menoleh melihat punggunya menghilang. Air mata mulai berjatuhan. Hanya ada satu kalimat, dia tidak pernah menganggapku entah sejak kapan, entah karena apa, dan tanpa penjelasan apapun.
Aku masih di tempat yang sama. Aku terdiam selama 15 menit untuk mengendalikan emosiku lalu menelepon Mika menceritakan semuanya sambil menangis. Dia memintaku untuk menunggu di sini beberapa menit. Entah apa maksudnya, padahal perjalanan ia ke sini paling cepat 5 jam. Dengan nada panik ia meminta alamat lengkapku dan langsung menutup teleponnya. Setengah jam aku menghabiskan waktu untuk berpikir dan menenggelamkan benci. Aku masih di sini, memandangi kursi di hadapanku yang sudah kosong. Dan aku langsung mengirimkan sebuah pesan singkat.
To Apip Tastiawan
Jarak sudah membuat kamu berubah. Sudah membuat kita berubah. Kamu bukan lagi kamu, aku bukan lagi aku dan kita bukan lagi untuk kita. Kita sudah punya visi dan misi yang berbeda, Pip. Kamu tau itu udah lama. Kita cuma lagi menunda perpisahan karena kita sama-sama ga berani ambil keputusan untuk berhenti dan terlalu takut untuk melepaskan makna dari kalimat “pacarannya sudah hampir 3 tahun, lho”.
Datanglah sapaan yang sangat aku kenal sejak empat bulan lalu. “What are you doing here? Hey, you look so messy.” Ucapnya sambil mengacak-ngacak rambutkuyang sudah kehilangan bentuk. “Ko di sini?”. “Mika khawatir sama kamu, dia minta aku susulin kamu karena dia ada perasaan gaenak soal Apip terus dia foto alamat Apip yang kamu tulis di kertas semalem. Cuma tadi aku lagi ngopi dulu di tempat Apip tadi kumpul sama temannya.”. Tangisku semakin jadi. “Aku se-ga penting itu ya, yo? Ga berfungsi aku buat dia? Aku se ga berguna itu? Kenapa sih Yo?” seketika, sesuatu membasahi rokku.
Dio hanya terdiam tanpa menjawab apapun. “will you marry me?” air mataku berhenti. “what are you doing?" aku menengok ke arahnya.“im not good enough for you. Kamu baru tau kan? Aku ga jujur soal orang itu. Dont be stupid. Aku mau ke hotel, Yo. Ini lelah.” “No, i believe you have a reason. You always have a reason to explain and make me understand who you’re. Ra. Ga ada perempuan sekonsisten kamu soal prinsip. Dan aku suka itu. Dari situ aku jadi tau tujuan hidup kamu apa, dan tujuan aku sama kamu apa.”Aku hanya bisa tersenyum dan... thanks God. Im the lucky women. Makasih, Yo. Kamu buat semuanya jadi jelas. Kamu buat aku tau makna dari terbaik dan fungsi diri aku apa buat ada di sini sekarang, ucapku dalam hati.“so???”. Aku menjulurkan jari manisku ke arahnya. Aku tahu teka-teki yang diberikan Mika waktu itu, hari ini terjawab.
Comments
Post a Comment