PART I



draft 4 tahun lalu yang sedang dicoba untuk melanjutkan *semoga konsisten hehehehe 

Malam ini cerah, setelah hujan mengguyur tanah kota, semburat jingga yang menghiasi fentilasi kamar mulai pergi kemudian terganti dengan cahaya bulan yang mulai terang.  Aku masih menjadi penikmat langit, walaupun malam ini nyaris sama dengan malam sebelumnya, belum ada bintang yang muncul lagi, juga masih terlihat hamparan awan hitam. Tetapi aku tetap menikmatinya, seolah langit memiliki cerita dan ingin didengarkan lewat suasana. Misalnya seperti langit mengasihani penduduk bumi yang sudah kepanasan sedari siang sampai akhirnya ia menurunkan hujan agar dapat tidur nyenyak karena kesejukan udara. Aku jadi teringat dia yang pertama kali mengenalkanku dengan rasi bintang. "dia" itu adalah Devan. Orang pertama yang menyapaku kala sedang duduk sendiri di pojokan kelas karena tidak memiliki teman sama pada awal aku menginjak masa putih biru, dia yang pertama menempati ruang hatiku, dia yang pertama membuatku merasa semangat untuk datang ke sekolah.
Dret.... getar pada telepon genggamku menyadarkan lamunan malam ini.
Devan Haviansyah: Besok jadi anter aku ke acara perpisahan adik aku kan, Vi?
Sudah kuduga, pesan itu pasti dari dia. Aku tahu betul, satu pesan akan masuk ke telepon genggamku setiap hari jumat pukul 19.00 karena saat itu adalah waktu iya mengecek isi telepon genggamnya yang tidak berkaitan dengan pekerjaannya kecuali keluarga. Biasanya saat hari kerja ia akan fokus dengan tanggung jawab pekerjaannya dan akan sedikit sulit dihubungi jika bukan urusan mendesak. Karena ia harus mengurusi beberapa projek ke luar kota, walaupun terkadang saat weekend pun ia tetap sibuk. 
Savia Triandini: jadilah, aku udah beli baju khusus buat besok nih hahaha besok jemput jam berapa?
Devan Haviansyah: jam 6 kamu harus sudah siap. Awas ngaret! Tak tinggal kamu. Udah sekarang kamu istirahat, jangan baca novel sampai malam ya.
Membaca pesan terakhirnya membuatku tersenyum, aku tahu betul ia sudah hafal dengan kebiasaanku lewat kebersamaan kami sejak SMP, walaupun kami sempat diskomunikasi selama SMA karena bersekolah di tempat yang berbeda dan ia melanjutkan kuliah di salah satu universitas di Yogyakarta. Kami kembali bertemu sejak 3 tahun lalu, ketika  kuliah semester 3 di acara reuni akbar sekolah. Hingga akhirnya kami kembali berkomunikasi bahkan beberapa kali bertemu karena biasanya aku minta berangkat bareng dengannya jika akan menghadiri acara seperti reuni atau acara buka bersama teman-teman yang lain, atau sekedar ngobrol ke coffee shop favoritnya, menonton film, atau sekedar jajan di taman kota sambil membicarakan banyak hal.
Tepat pukul 06.00 pagi ia sudah duduk di depan rumahku. Aku tahu ia adalah orang paling berprinsip dan berkomitmen yang pernah aku kenal. Jika ia ngomong A maka akan langsung ditepati. Setelah mendengar suara motornya aku langsung keluar rumah membukakan pintunya.
“lama banget sih” ledekku kepadanya
“dasar kamu, biasanya juga aku yang nunggu sampe setengah jam kalau ada acara minta dijemput.” Balasnya sambil membuka helm yang ia gunakan. “mama, mana?”
“bentar ya aku panggil sekalian ambil tas.”
Tak lama kemudian mamaku datang, ia saling menyapa dan memberi salam, tak lama kami berangkat bersama.
            Sampai di sana aku langsung bertemu orang tuanya. Aku dan orang tuanya sudah akrab. Karena sejak SMP kami sudah saling bertegur sapa, saat itu aku menjenguk ke rumahnya karena ia dioperasi usus buntu. Ketika aku datang kedua orang tuanya mulai meledek kedekatan kami, namun aku baru tau kalau ternyata dia selalu cerita ke orang tuanya bahwa dia menyukaiku. tapi saat itu aku yang tidak mengerti perihal perasaan aneh itu mengabaikan dia. mungkin itu hal yang membuat ia sekarang menjadi dingin dan hanya menganggapku sebatas “teman”. Tetapi keadaan sekarang berbalik dengan mudahnya, setelah tersadar bahwa kesan pertamanya saat menyapaku dulu, masih mengendap dan masih memiliki ruang yang tidak terusik. Perasaan itu muncul lagi ketika ia mengantarku pulang saat acara buka bersama dengan teman SMP.
            Setelah acara ceremony perpisahan adiknya selesaipun ia langsung mengajakku menghampiri adiknya dan memberikan ucapan. Aku bertegur sapa dan berjalan ke pinggir ruangan untuk duduk dan memberikan Devan ruang untuk bercengkrama dengan keluarga yang sudah sekitar sebulan aku pikir ia tidak pulang ke jakarta.
Tertegun ketika ku melihatnya menyentuh pipi perempuan itu. Lalu tak lama kemudian, pelukan hangat langsung ia sambut dalam dekapan yang sangat indah dilihat... aku masih saja terus menatapnya. Satu... dua... tiga... empat... menit berlalu sampai kau melepaskan pelukan itu dilanjut dengan mengecup dahinya sambil mengucapkan "selamat!" lalu disusul dengan memberinya bunga. Aku masih terjaga dengan tatapan berkaca. Andai... hanya satu kata itu yang ada di benak. Entahlah, aku rasa cuma kata itu yang bisa mewakili segala bentuk keinginanku. Kau lemah, aku tau ia tak setegar seperti apa yang ia perlihatkan dalam potret kesehariannya. Apalagi saat ia mencoba lebih kuat memeluk perempuan kedua yang paling ia sayangi itu. dia butuh. Sesuatu yang bisa disebut tempat bersandar. Setiap orang butuh genggaman begitu juga dia.
Tapi sesuatu membuatku menjaga jarak darinya karena benteng besar nan kukuh yang disebut batas itu membuat gusar untuk dipanjat lagi. Bukan tidak berusaha. Tetapi sudah, hanya saja batas kesabaranku memiliki kapasitas yang terbatas. Akhirnya, ku putuskan untuk mengeluarkan sayu kata "menyerah" dan aku hanya bisa menjangkau seadanya. Biarlah. Cuma langit yang tau betapa hebat rasa yang pernah ia ciptakan. Banyak yang menunggu dan membutuhkannya, aku harus bisa sadar dan menerima. Jalan di depan masih panjang terbentang untuk aku dan ia jalani untuk menggapai mimpi.
"Heh, bengong aja" Sapa dia sekaligus membuatku kaget dan tersadar dari lamunan
"Ah, iya.. abis aku suka sekali bengong" jawabku sambil nyengir
"Hati-hati, kemarin ayam tetanggaku mati gara-gara kebanyakan bengong"
Mata bulan sabit yang selalu aku ingat setiap lengkungannya jika sedang tersenyum. selalu memberikan ketenangan sekaligus petanda jika semuanya akan baik-baik saja. Aku tidak bisa membedakan apa itu rasa atau penasaran. Ada sesuatu yang belum sempat kami ucap tapi sudah hilang, berucap tanpa tahu dan mengetahui. Aku selalu melihatnya dari jauh, memperhatikan kegiatannya lewat media sosial. Setelah tujuh tahun lalu, ada satu yang tidak pernah berubah. Senyumnya masih saja menyembunyikan banyak hal. Terlihat menenangkan sekaligus menutupi banyak hal. Aku paham betul bagaimana ia berjuang untuk mewujudkan mimpinya. Tak lama kami makan siang bersama. Lalu aku kembali ke rumah dan ia kembali pada rutinitasnya. Aku tahu sebenarnya ia juga ingin menjangkau banyak hal. Hanya saja beban yang ia pikul terlalu berat, tanggung jawabnya besar. Sampai terkadang unutk memikirkan dirinya sendiripun ia tidak sempat.
Kebersamaan kami  berjalan seperti biasanya, ia yang dua minggu sekali mengajak makan, atau sekedar mengajak menghadiri acara perayaan imlek di daerahku. Kami memiliki kesamaan, sama-sama penikmat langit dan cahaya, jadi jika ada sesuatu yang berkaitan dengan kedua hal itu kami langsung antusias. Sampailah pada kejadian di mana ia membicarakan suatu hal. Hal yang tidak pernah aku sangat akan membuat langitku kelabu.
“Vi. Kamu gimana kerjaan? Ada niat lanjut pendidikan atau bagaimana?”
“Aku masih fokus sm kerjaanku sih, Dev. Masih cari info tentang beasiswa kalau untuk lanjut pendidikan. Ko tiba-tiba nanya tentang itu?”
“Aku harus ngomong ini juga sama kamu Vi. Aku bakalan lanjut pendidikan ke Malang dan aku juga udah bilang sama atasan bisa pindah kerja ke sana juga. Jadi aku akan jarang banget pulang ke sini.”
Aku hanya bisa menengadah dan menarik napas panjang mendengar informasi tersebut, tidak heran jika mendengar mimpi besarnya yang satu-satu akan terwujud. Aku paham betul  apa mimpinya, salah satunya ialah ingin membangun sekolah alam dan menimba ilmu sebanyak mungkin.
“Iya Dev, selamat ya. Semoga kamu sukses terus. Aku ikut mendoakan dari sini. Terus Rika mau lanjut SMA ke mana jadinya?”
“Kayaknya di SMA Plus deket rumah aja, dia antusias banget ingin lanjut ke sana. Kamu gak apa-apa kan?”
“Syukur deh, aku yakin dia juga akan jadi anak hebat kaya kamu. Gak apa-apa gimana?”
Aku sedikit tidak mengerti maksud dari pertanyaannya. Bahkan untuk berpikiran ke arah harapan saja aku tidak ingin. Aku terlalu tahu jika aku tidak pernah ada dirangkaian masa depannya. Cukup menjadi si pendengar dan pendamping unutk beberapa hal saja aku sudah cukup merasa bermakna untuk hidupnya.
“ya gak apa-apa aku bakalan jarang anter kamu? Nanti ga akan ada yang anter kamu pulang kalau reuni” ucapnya dengan nada meledek.


“hahaha nggaklah, kamu fokus aja. Belajar dan kerja yang bener ya biar cepet lulus juga. Kasian kan adik sm mama kamu ditinggal-tinggal.”
“adik sama mama aku atau kamu yang sedih aku tinggal-tinggal?”
Untuk pertama kalinya ia membicarakan sesuatu yang merujuk pada kekhawatirannya akan keberadaanku. Entah harus senang atau sedih, tapi setauku keduanya memang sering datang beriringan. Ini, pertemuan terakhir kami, setelah 3 bulan sudah waktu berputar. Ia melanjutkan mimpinya dan aku masih jalan di tempat bersama perasaan tidak karuan.
“Vi, lo kenapa sih seminggu ini murung gak jelas? Ga asik banget deh susah diajak ke mana-mana.”
Tersentak aku ketika Maura menyenggol kursiku, “ngagetin aja lo. Untug gue gak jantungan.”
“ya lagian elo, gua ajak nonton film Imperfect gak mau. Biasanya lo antusias banget kalo ada film Indonesia yang punya rating gede.”
Sorry, kerjaan gua banyak Ra. Lo kan tau sendiri minggu ini lagi gimana pusingnya gue. Lo nonton aja sam Raka sana. Pacaran, rumah deket ko buat nonton masih ngajak gue”
“yee lu ngeledek gue. Daripada lo, hati sama-sama deket, tapi status cuma temen, jarang dikabarin pula. Gue ga akan ngajak lo kalo dia mau gue ajak nonton. Ah malesin deh lo”
“ah ngeselin lo. Udah sana pergi, gue sibuk.”
Entah kenapa, omongan Maura tadi sedikit membuat hatiku merespons. Selain memang kerjaanku yang banyak menjelang akhir bulan, harus membuat laporan ini itu, aku juga masih selalu menunggu notifikasi yang sebenarnya tidak perlu aku tunggu. Hingga akhirnya jam kerja selesai aku bergegas keluar dari kantor untuk mencari udara segar, walaupun setelah ini aku mau ke salah satu resto cepat saji favoritku untuk melanjutkan kerjaan sambil menikmati burger dan ice cream yang super enak.
“Mau ke mana lo? Langsung pulang?” seperti biasa, Maura pasti menghampiriku setelah jam pulang untuk bisa pulang bersama.
“Gua mau lanjut dulu nih kerjaan dikit lagi sambil makan. Lo mau ikut apa langsung pulang?”
“Ikut deh gue, kangen juga pengen makan burger di sana, yuk langsung cabut.”
Setelah sampai di sana, kami memesan makanan dan Maura menemaniku sambil juga mengobrol beberapa hal. Malam ini bulan sedang cantik-cantiknya karena katanya supermoon terakhir di bulan ini.
‘Bulannya cantik. Aku suka, walaupun tetap ada di langit yang sama tapi kayaknya kita gak ada pada orbit yang sama.’ Tweet sent...
Hingga tak terasa bulan semakin tinggi dan kami berdua memutuskan untuk segera pulang ke rumah masing-masing. Saat sedang berkemas, aku mendengar notifikasi twitterku. Terpampang notifikasi bertuliskan: Devan Haviansyah replied your tweet....

Comments

Popular Posts