PART II
”Kamu
emang ada di orbit yang mana sekarang? Hehe aku juga lagi liat ke langit nih,
sepi langit di sini”
Entah harus senang atau sedih, tapi
yang aku tau keduanya selalu datang beriringan. Senang karena akhirnya ia bisa
memulai percakapan lagi. Sedih karena ia berhasil merobohkan tembok yang sudah
susah kubangun. Tweetnya hanya ku liat lewat notifikasi di depan layar. Lantas
aku langsung bergegas.
Sesampai di rumah, aku langsung
membersihkan diri dan langsung menyambar kasur, hari ini terasa jauh lebih panjang
dari hari biasanya. Tweet Devan masih kuabaikan karena belum menemukan kata apa
yang tepat untuk membalasnya. Sampai akhirnya notifikasi whatsapp berbunyi.
Devan: Besok aku pulang ke Bogor, di
sana 3 hari. 2 hari kerjaan, sehari bisalah free,
mau ketemu? Aku ada buku bagus nih yang kayaknya kamu juga suka.
Sungguh hanya diam yang bisa aku
lakukan, matikan paket data, kusetel alunan gitar lagu Bimbang- Melly Goeslaw,
dan kutarik selimut.
11.28 WIB
Devan: Yah udah tidur deh. Kalo kamu bisa kabarin aku ya.
Selamat tidur ya, Vi.
Alarmku selalu bunyi tepat pukul 04.30. seperti kebanyakan
orang pada umumnya, ketika bangun tidur yang dicari pertama yaitu telepon
genggam. Kubuka pesan semalam yang masuk, entah karena apa, bibirku langsung
merespons dengan lengkungan manis. Namun masih ragu, aku belum yakin buat bisa
bertemu. Aku melanjutkan hari, membereskan rumah, membuat sarapan, dan
berangkat ke kantor. Kehidupanku selalu berputar pada poros yang sama hampir
setiap hari, ditambah sedang berada pada fase quarter life crisis. Beberapa waktu ini istilah itu sering
kudengar di beberapa obrolan medsos, terlebih twitter. Rasanya memang nano-nano, pikiran sering kali
tidak menentu dan sering kali memikirkan hal yang tidak seharusnya dipikirkan.
“Vi, lo kenapa sih akhir-akhir ini sering bengong?” ucap
Panji memecah lamunanku pagi ini
“Bengong tuh enak tau, gua ngerasa kalo pas bengong tuh otak
gua istirahat mikir. Lo ngapain sih datang-datang bikin gua kaget aja.”
“Gua mau ambil minum, liat lu lagi bengong kan gua ngeri,
siapa tau lu kesurupan. Gua denger-denger dari Pak Agus ya Vi, kantor kita tuh
serem tau kalo malem.”
“Apaan sih, gak lucu deh lu Ji sumpah, udah sana lu kerja!”
jawabku dengan muka ketus sambil mendorongnya pergi.
Pekerjaanku hari ini lancar, tidak terlalu sibuk dan masih
bisa makan siang ke luar bersama teman-teman. Saat waktu sudah dekat dengan jam
pulang aku teringat kalau pesan devan belum aku balas.
Devan Haviansyah
Hai, Dev. Sorry baru bales.....
*Dev calling you...
“hallo asalamualaikum Vi.”
“hai, walaikumsalam. Baru aku mau bales chat kamu, sorry
hari ini sibuk banget.” Ucapku langsung sebelum ia bertanya, terpaksa berbohong
karena aku sendiri bingung harus bicara apa dengannya.
“hahaha calon bos nih ya kamu. Ini kamu masih di kantor?
Lembur gak hari ini?”
“aamiin haha engga kok, ini sebentar lagi juga pulang aku.
Kamu pasti sibuk banget? Nanti pas aku udah di rumah aku telepon lagi gimana?”
“aku udah mau selesai, aku jemput kamu ya kita makan bareng
nih laper banget aku. Gimana?”
Aku bergeming. Entah harus menjawab apa. Di satu sisi rindu,
tapi aku pun tidak bisa terus mengikuti arusnya jika ia saja belum menemukan
muara.
“Vi? Sinyalmu jelek ya?”
“ah iya, boleh. Kamu selesai jam berapa?”
“Abis magriblah aku langsung ke kantor kamu ya?”
“Oh ya, oke.”
“Yaudah ya, aku lanjut lagi kerjanya ya, dikit lagi hehe
asalamualaikum”
“Oke Dev, semangat hehe walaikumsalam.”
Tidak tersadar, raut wajahku
melengkungkan senyum. Aku masih di sini ternyata, belum ke mana-mana. Dan masih
belum bisa menolaknya untuk tidak ingin bertemu
Comments
Post a Comment