PART III
Saat aku sedang mengobrol dengan teman-teman kantorku, ada suara yang sangat familiar memanggil, bergegas aku menghampirinya
“ayo Vi, aku udah laper banget nih.” Sambil memberikan helmnya kepadaku
“emang tadi sore gak makan cemilan? Biasanya juga kamu gabisa berhenti ngunyah.”
“makan sih, tapi kan orang Indonesia tuh kalo belum ketemu nasi ya namanya belum makan.”
Akhirnya kami melanjutkan perjalanan menuju tempat makan favoritnya jika pulang ke Bogor, sop kambing Pak Kumis, entah ada mantra apa tapi Pak Kumis selalu ada di hati dan benaknya.
Saat makan kami tidak banyak mengobrol, karena tempat makan yang terbatas harus gantian dengan orang juga tempat yang selalu ramai, karena sop dan satainya juara. Selesai makan kami melanjutkan destinasi kuliner selanjutnya, ke daerah Bogor Permai untuk makan ketan susu yang juga selalu jadi favoritnya.
“langit malam ini bagus, kemarin di Malang sepi banget. Gaasik. Bogor tuh emang selalu ngangenin ya Vi.”
Aku hanya bisa menatapnya menengadah, berharap kata ‘kangen’ itu milikku. Aku tidak menjawabnya, fokus pada senyumnya yang sudah lama tidak aku lihat. Namun tetap saja ada beban yang selalu ia sembunyikan, tatapannya selalu sedu dan lelah.
“gimana kerjaan dan kuliahmu, Dev?”
“baik Vi, kamu gimana?” jawabnya singkat karena sedang khusu menikmati makananya.
"Baik juga. Ya gini aja sih, masih ribet sama kerjaan." Ucapku tanpa banyak kata dan lanjut mengobrol bangak hal sambil ku memandanginya yang sangat asyik menyantap ketan susu favoritnya.
Senyum yang menghasilkan lengkungan "bulan sabit" itu yang selalu bisa mencuri setengah ruang perasaanku. Dia yang selalu bisa membuatku berpikir untuk menjadi orang yang lebih baik lagi. Walaupun aku terlalu tau jika benteng itu masih kukuh terpampang luas membuat sekat. Tapi tak apa, saat ini satu-satunya definisi yang bisa aku artikan hanya bahagia.
"Pulang yuk, udah malam ini." Ucapnya setelah menghabiskan ketan favoritnya. Aku hanya mengangguk dan beranjak dari tempat ini. Sepanjang jalan kami asyik mengobrol, semilir angin menjadi sangat dramatis diiringi cerita hari-hari menyenangkannya. Entah apa alasannya, ia tidak pernah ingin membagikan hari tidak baiknya, "kalo aku ceritain emosi negatif yang aku rasain ke kamu, nanti situasi kita jadi ikutan negatif dong, Vi" itu yang selalu ia jelaskan padaku.
"Besok aku jemput pukul 3.30 ya, Vi." Ucapnya sambil mengambil helmnya dariku, aku hanya memberita tanda lewat melingkarkan ibu jari dan telunjukku sambil mengangguk dan tersenyum. "Jangan ngaret dan dandan kelamaan. Udah ya aku pulang dulu."
"Iya, hati-hati ya di jalan."
Hari ini selesai, bergegasku menyiapkan diri untuk datang ke negeri mimpi
Dretttt... telepon genggamku berbunyi
Davin:
"Vi, siapa-siapa ya, aku mau berangkat 15 menit lagi."
Kubuka gorden untuk memastikan rintik tidak lagi membasahi tanah
Via:
"Masih hujan, Vin. Hmm."
Davin:
"Yaudah kita tunggu 30 menit lagi. Kabari aku kalo hujan sudah reda di sana."
Aku bersiap-siap agar nanti Davin tidak mengomel.
Kubuka telepon genggam lalu kutelepon Davin dengan cepat.
"Udah reda, Vin. Ayo ke sini."
"Oke, 15 menit lagi sampe. Tunggu di depan ya."
Tak lama kami langsung berangkat ke toko buku salah satu mall di kota kami. Menghabiskan banyak waktu sambil membicarakan buku apa saja yang baru dan seru untuk dibaca. Mungkin kami sudah menghabiskan waktu 2 jam di sana.
"Vi, makan yuk? Udah laper nih aku. Sekalian cari masjid biar salatnya ga antre kalo di mall, tau sendiri kan ini weekend."
"Lets go." Balasku sambil mengangguk dan meninggalkannya di belakang
Karena hujan turun lagi akhirnya kami memilih tempat makan yang dekat dekat mall. Akhirnya kami makan dan lagi-lagi menghabiskan banyak waktu dengan mengobrol.
"Vi, kamu lagi gak deket sama siapa-siapa sekarang?" Pertanyaan itu bagai bom atom yang meledakkan isi pikiran otakku.
"Belum sih, kenapa?"
"Oh, terus kalo soal target. Kamu rencana mau nikah kapan?"
"Hm mungkin 2 tahun lagi, saat umurku 25. Emang kenapa? Tumben nih kamu nanya aneh-aneh gitu."
"Ya gak apa-apa, aku mau nanya aja sudut pandang perempuan soal rencana nikah rata-rata mau nikah kapan."
"Lho, kamu lagi adain penelitian emang? Udah berapa orang yang kamu tanya?" Godaku padanya sambil tertawa ringan
"Gak lah, ya nanya iseng aja."
Obrolan malam kali ini diiringi live music dengan lagu Adera-Muara. Dia tersenyum. Aku memperhatikannya dengan perasaan senang, entah alasannya apa, tapi dua hari ini aku dibuat bahagia.
Memberikannya izin untuk masuk mengisi ruang di sini bersamaku adalah keputusanku, selalu mencoba ada untuknya ketika butuh juga keputusanku, pun menjadikannya salah satu prioritas dan memiliki perasaan ini adalah keputusanku. Aku tidak pernah menyesal akan hal itu, tahapan perasaanku untuknya sudah berada di fase, cukup aku laksanakan saja, mendoakannya, mendoakanku. Itu saja cukup, aku hanya ingin melihat matanya bahagia tanpa tertutup tatapan sedu lagi walaupun nantinya mungkin aku melihatnya tidak lagi menengok ke arahku, walaupun aku bukan yang dipilih. Walaupun sepertinya aku tau, aku tidak pernah punya kesempatan itu.
Comments
Post a Comment